selamat datang di blog Indra jaya pertama welcome to Indra jaya pertama blog

Ujian Nasional Dan Kondisi Psikis Siswa

Diposting oleh Indra JP Selasa, November 22, 2011 0 komentar

Ujian Nasional, sepertinya masalah ini sudah basi atau tidak pentingkah? Karena saat ini kita tengah disibukkan oleh euforia Pilpres, dan sudah bisa dipastikan siapa pemenangnya. Tapi saat ini tidaklah saya ingin membahas masalah pilpres ini, bukan berarti tidak penting. Biar dan ijinkalah saya mengulas sedikit tentang dampak Ujian Nasional pada kondisi psikis anak atau siswa. Siapa peduli! Tapi biarlah karena ini hanyalah rasa empati saya yang begitu besar terhadap dunia pendidikan, sebab saya pernah menjadi seorang pendidik untuk beberapa tahun menangani langsung siswa yang akan menghadapi UN. Dulu namanya Ebtanas dan selalu berubah setiap era.

Dalam hal ini yaitu mengenai kondisi psikis anak ketika menghadapi Ujian, apakah kita sebagai orangtua atau guru membantu mereka mengelola emosi, agar bisa bersikap tenang dalam menghadapi pertempuran atau kekalutan bernama Ujian Nasional ini. Adakah kita para orangtua maupun guru menciptakan suasana yang kondusif agar mereka siswa tersebut bisa menyikapi atau mempersiapkan mental dengan baik agar semangat menghadapinya(UN)? Tanyalah pada diri kita sendiri sebagai orangtua atau guru. Jangan-jangan malah kita menciptakan suasana yang tegang, sehingga belum saja menjalani UN, siswanya sudah nervous, tertekan, khawatir, takut tidak lulus dan banyak ketakutan-ketakutan lainnya.

Otak dan pikiran mereka kita jejali dengan latihan-latihan soal, dalam pandangan mereka kita gambarkan bahwa meraih NEM atau nilai berdasarkan standart nasional berapa, (tanya saja pada mereka yang berkompeten), tertinggi adalah harga mati. Atau tinggal pilih mau lulus atau tidak, terserah yang penting kita bisa menjejali mereka bahasan-bahasan soal yang memusingkan kepala. Lagi-lagi siswa selalu jadi korban, mau protes apa ada yang menyikapi. Garis bawahi, jika siswa sudah duduk di kelas III, maka mereka akan dilatih untuk menjawab a,b,c dan d. Latihan soal ini dan soal itu, terkadang kurang di jam pelajaran, ditambah lagi dengan les, bahkan ada yang ikut bimbel. Waktu diisi hanya berpacu dengan soal dan soal, materi nomor kesekian, ilmu yang didapat siswa itu urusan nantilah. Jika siswa ada yang gagal maka mereka yang disalahkan, tapi kalau mereka dapat nilai bagus maka semua berbangga hati.

Bukan berarti UN itu tidak penting, namun disini yang harus diperhatikan adalah kesiapan kondisi psikis anak atau siswa itu harus diperhatikan. Tidaklah harus main-main menghadapi UN tersebut. Kita sebagai orangtua atau guru haruslah mengkondisikan mental anak dengan baik., dampingi mereka. Karena mempersiapkan mental yang baik dalam menghadapi ujian itu penting. Kita tidak mesti menuntut anak secara berlebihan agar mereka jadi juara dengan tekanan-tekanan secara lisan. Harus dapat NEM tinggi atau harus dapat rangking terbaik atau harus-harus yang lainnya lagi. Persiapan untuk belajar saja anak atau siswa tersebut sudah capek lahir batin, apalagi dengan tuntutan-tuntutan kita yang terlalu over. Seolah-olah NEM tinggi itu adalah segala-galanya. Cukuplah sudah kita membebani mereka dengan jadwal-jadwal padat dalam menghadapi ujian. Belum lagi ditambah peraturan-peraturan yang sudah terpusat dalam mengatur tentang UN ini. Jangan ditambah lagi dengan hal remeh temeh yang dapat berakibat fatal, hingga siswa benar-benar gagal menempuh UN, hanya karena kondisi mental yang jatuh.

Saya yakin kita, anda para orangtua dan pendidik yang berhubungan langsung dengan anak atau siswa dapat bersikap arif dan bijak menyikapi hal ini. Dan sebagai anak atau siswa, haruslah menghadapi ujian ini dengan penuh tanggungjawab, kesatria dan jujur. Marilah kita ciptakan suasana yang kondusif agar siswa dapat menghadapi dan menjalani ujian nasional ini dengan hati yang tenang dan senang. Mereka bahagia dan semangat menghadapi dan menjalaninya tanpa ada beban, dibarengi dengan doa dan usaha mereka yang maksimal, maka yakinlah kita akan melihat keberhasilan mereka. Tapi ingat ilmu atau materi itu penting ditransfer kepada siswa, tidak hanya mengutamakan latihan-latihan soal yang sifatnya temporal atau instan. Kasihan jika kita mencetak lulusan yang tak berilmu pengetahuan. Coba bayangkan “Andai Ujian Nasional, Seperti Sebuah Pesta,” maka siswa akan menyonsongnya dengan penuh kegembiraan, bahkan dengan semangat dan keriangan diwajah yang terus terpancar.

Pendidikan Murah buat Anak Autis

Diposting oleh Indra JP Senin, November 21, 2011 0 komentar

Malang nian nasib anak-anak autis dari kalangan keluarga tidak mampu. Mereka harus rela ditelantarkan para pendidik dan lembaga pendidikan karena biaya pendidikan bagi anak autis di Indonesia harganya selangit.
Kasus ini menimpa seorang Satpam di daerah Jakarta yang harus membiayai pendidikan anaknya yang autis sebesar seratus ribu per hari, sedangkan gajinya tidak sampai seratus ribu per hari.
Realitas seperti di atas mengindikasikan bahwa memiliki anak berkebutuhan khusus memang harus berduit atau kaya. Lantas, bagaimana nasib anak autis dari kalangan tidak mampu? Apakah mereka harus merelakan diri hidup tanpa bimbingan dan pendidikan?
Padahal, jika diteropong secara eksistensial dan psikologis mereka juga berhak mendapatkan layanan pendidikan dari para ahli. Ketika sebuah keluarga miskin memiliki anak autis, misalnya, karena orientasi pendidikan bagi mereka mahal, boleh jadi akan menjadi beban psikologis dan menambah persoalan kian rumit. Apalagi, dengan wawasan keluarga tentang gejala autisme pada anak di Indonesia masih minim. Maka, dapat dipastikan jika anak autis dari kalangan tidak mampu telantar begitu saja.
Mereka akan tumbuh dan berkembang dalam rentang masa hidupnya tanpa diberikan pendidikan yang layak dan seimbang sehingga di masa depan dapat dipastikan jika eksistensinya akan tergerus oleh arus kehidupan.          
Mendirikan Yayasan Sendiri
Di dalam UUD 1945, secara tersurat dinyatakan bahwa setiap anak berhak atas pendidikan. Namun, realitas berbicara lain. Anggaran subsidi dari pemerintah untuk pendidikan anak autis tidak pernah ada, padahal kalau mengacu pada UUD 1945, anak autis dan berkebutuhan khusus lainnya juga adalah seorang anak yang berhak memeroleh pendidikan. Maka, agar anak autis miskin bisa mendapat pendidikan murah, pemerintah harus menganggarkan (APBN atau APBD) biaya untuk pendidikan anak autis.
Sedangkan bagi keluarga kaya (aghniya) yang memiliki anak autis, dikarenakan mahalnya biaya pendidikan, solusi yang tepat adalah mendirikan yayasan swakelola untuk buah hatinya.
Karena sekarang ini trend model pendidikan "Homeschooling" tengah menjamur dan hal ini bisa dimanfaatkan oleh mereka untuk dijadikan model pendidikan bagi anaknya. Kalau ingin mewakafkan sebagian harta yang berlebihan, di dalam yayasan swakelola tersebut, ada semacam pemberian pendidikan murah untuk anak autis dari kalangan tidak mampu.
Memberikan satu atau dua hari di dalam seminggu kepada anak autis dari keluarga tidak mampu untuk merasakan pendidikan dari para ahli terapis. Lebih baik lagi syukur kalau turun anggaran dari pemerintah. Maka, anak dengan gejala autis dari kalangan keluarga miskin bisa mendapatkan pendidikan dan eksistensinya sebagai bagian dari umat manusia dan bangsa ini terakui.
Gagasan pendidikan murah
Tidak ada atau kurangnya pendidikan yang peka terhadap keberadaan anak berkebutuhan khusus dari kalangan miskin, dan orientasi lembaga pendidikan anak berkebutuhan khusus di negeri ini belum bisa diakses kalangan miskin, menjadikan banyak sekali bergelimpangan anak-anak yang terlantar kemudian tidak memeroleh pendidikan dan bimbingan.
Hal ini menjadikan eksistensi anak-anak berkebutuhan khusus, salah satunya anak autis, terpinggirkan meskipun ada payung hukum berupa UUD 1945 yang mewajibkan pemerintah untuk memenuhi hak anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh pengajaran dan pengarahan sehingga bisa berperan bagi bangsa ke depan.
Kurang dari 5 persen anak-anak berkebutuhan khusus usia sekolah yang menikmati layanan pendidikan. Dari perkiraan 1,5 juta anak berkebutuhan khusus di Indonesia , baru 66.000 anak yang mendapat layanan pendidikan.
Ketimpangan ini mengindikasikan bahwa pemerintah belum secara serius menggarap pendidikan murah bagi anak-anak berkebutuhan khusus dari kalangan tidak mampu, karena boleh jadi dari sekitar 1, 5 juta anak itu terdiri dari anak berkebutuhan khusus yang miskin.
Alhasil, baru sekitar 66.000 anak yang mendapatkan layanan pendidikan. Apalagi bagi anak autis di Indonesia. Boleh jadi hanya segelintir orang tua kaya saja yang bisa menyekolahkannya dan memperoleh layanan pendidikan kendati harus merogoh banyak uang di kantong.
Kita, tentunya, akan tetap menjadi bangsa besar jika saja tanpa pandang bulu memberikan layanan pendidikan kepada anak-anak berkebutuhan khusus dan utamanya kepada anak autis dari kalangan tidak mampu. Sebab, mereka juga adalah harapan bangsa. Bukan cacat bagi Negara ke depannya.                      

mari MENJELAJAHI